Umur Pria Lebih Pendek dari Wanita?

KOMPAS.com - Umur seseorang memang ada di tangan Tuhan. Namun, gaya hidup dan bagaimana seseorang merawat kesehatannya banyak memengaruhi usia harapan hidup seseorang.

Penelitian menunjukkan, bila dibandingkan dengan wanita, lebih banyak pria yang lebih cepat meninggal. Mengapa? Berdasarkan statistik, penyakit jantung koroner tiga kali lebih tinggi pada pria. Angka bunuh diri juga lebih tinggi pada pria, bahkan bunuh diri dan pembunuhan merupakan penyebab terbesar dari tiga penyebab kematian pada pria berusia 15-35 tahun.

Fakta-fakta tersebut dicantumkan Marianne J.Legato MD dalam buku terbarunya Why Men Die First: How to Lengthen Your Lifespan. Ia memfokuskan pada faktor biologi, kultur, dan penyebab individual yang membuat rentang usia harapan hidup pria di Amerika Serikat enam tahun lebih pendek dibandingkan wanita.

Usia harapan hidup pria memang lebih pendek, kata Legato, karena sejak lahir pria memang lebih rentan dan "fragile" dibanding wanita. Ia juga menganggap penyakit pria kurang mendapat perhatian serius, baik dari individunya maupun lingkungannya.

Secara kultural, menurut Legato, wanita juga lebih sering meminta bantuan. Sedangkan pria, sejak lahir sudah dituntut untuk bersikap kuat, tegar, dan tidak boleh cengeng. "Pria baru mencari pengobatan bila diminta pasangannya atau setelah kondisi penyakitnya bertambah buruk," ujarnya.

Dalam bukunya Legato juga menungkapkan bahwa pria kurang peduli terhadap kesehatan. Selain itu pria juga dianggap malas dan malu berobat ke dokter untuk mencari pengobatan kondisi kesehatannya, terutama disfungsi ereksi. Padahal, impotensi merupakan gejala dari penyakit lain, seperti diabetes dan penyakit jantung.

Memasuki usia 30 tahun, kadar hormon testoteron pria akan berkurang satu persen setiap tahun. Penurunan hormon ini akan berakibat pada berkurangnya vitalitas, massa otot, daya ingat, dan penurunan hasrat seksual. Selain memengaruhi kualitas hidup, hal ini juga bisa menyebabkan depresi pada pria. Depresi sendiri berpotensi mengundang penyakit.

Faktor lain yang membuat usia pria lebih singkat dibanding wanita adalah faktor kekebalan tubuh. Menurut Legato, sistem imun pria tidak sehebat pada wanita sehingga kemungkinan pria terkena infeksi lebih besar, khususnya tuberkolosis dan penyakit menular seksual.

Secara gentik wanita juga lebih beruntung dibanding pria karena memiliki hormon estrogen. Hormon ini memberi perlindungan alamiah pada wanita, khususnya terhadap penyakit jantung. Sebagai ilustrasi, tanda-tanda penyakit jantung sudah bisa muncul pada pria usia 35 tahun. Sedangkan pada wanita baru muncul beberapa tahun tahun kemudian. Karena itu, bila seseorang memiliki riwayat penyakit jantung dalam keluarga, ia perlu waspada dan mulai mengubah pola hidupnya.

Kamu ya kamu ....


Nggak mungkin! Kamu itu soulmateku, bukan yang lain!
Gila, coba kamu bayangin... sudah berapa banyak orang yang kutolak cintanya demi mendapatkan orang yang sempurna. Masih bertanya siapa orangnya??? Kamu Mas, KAMU! Aku menemukan semuanya di kamu. Satu lagi yang harus kamu inget, bukan aku yang ngejar-ngejar kamu. KAMU yang berkeras mendapatkan cintaku, KAMU! Dan sekarang, setelah mendapatkannya, kamu meninggalkanku begitu saja?

Ah, rasa kecewa yang mendalam ini masih begitu terasa di dadaku. Setiap kali mengingatnya dadaku terasa sangat sakit. Rasa menusuk itu tetap saja ada, walaupun memang tidak sesakit dahulu. Hubungan yang kuharap bisa berlangsung sampai akhir kami menutup mata ternyata berakhir semudah menutup pintu saja.

Ketika itu aku masih muda, cinta muda. Bukan, bukan cinta monyet... aku sungguh-sungguh mencintainya. Aku memang tidak cantik, tapi rasanya cukup menarik. Sudah banyak laki-laki dan pria yang berusaha mendapatkan cintaku. Idealismeku yang sangat tinggi ketika itu membuatku menjadi perempuan pemilih.

Begitu banyak kriteria yang kutetapkan untuk diriku sendiri. Hmmm, tidak banyak sebenarnya, dia hanya harus seiman denganku, sedap dipandang, Jawa (ups..), usianya paling tidak empat tahun lebih tua daripada aku, dan dia harus lebih pintar dibandingkan aku. Satu kriteria saja yang tidak terpenuhi berarti he’s not the one.

Pencarian panjangku berakhir ketika aku menemukannya, sosok pria tampan dari suku Jawa, seiman, usianya 7 tujuh tahun di atasku, dan lebih pintar dibandingkan aku. Sangat sempurna... he’s the one.

Ternyata kesempurnaan kriteria yang ada dalam dirinya tidak sejalan dengan kecocokan kami. Aku yang masih muda tidak mau menghabiskan waktu hanya untuknya. Mas yang sudah dewasa ingin waktu luangnya yang hanya sedikit dihabiskannya bersamaku. Aku yang egois tidak ingin kehilangan waktu bersama teman-temanku hanya demi seorang pria.

Perbedaan prinsip, keegoisan, dan keengganan kami untuk memecahkan masalah sepertinya saling melengkapi. Komunikasi yang semula baik menjadi buruk. Keinginanku untuk selalu mendengar suaranya berubah menjadi keengganan. Kehadirannya yang selalu kunanti rasanya ingin selalu kulewati. Pribadinya yang kupuja-puja kini kupertanyakan. Bukan, rasanya bukan hanya aku yang merasakannya. Aku yakin, dia juga merasakan hal yang sama. Hanya saja, tidak ada satupun diantara kami yang cukup ksatria untuk mengungkapkannya.

Pagi itu, hari Minggu, tepat sebelum aku beranjak ke gereja, sosok sempurna itu datang ke rumahku. Kuakui, rasa gembira sempat menghampiriku. Sejenak aku merasa harapan itu masih ada. Semua retakan yang mengurangi kesempurnaannya masih bisa diperbaiki sebelum akhirnya pecah berantakan. Namun ternyata, kegembiraan hanya datang sejenak, harapan tinggallah harapan, kehancuran yang tidak pernah berani kubayangkan ternyata benar-benar datang.

Hari itu, jam itu, menit itu, detik itu, kurasakan sakit yang teramat sangat. Rasa yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Ah, ternyata inilah yang dinamakan sakit karena cinta. Sakit yang sejak dahulu banyak diceritakan kepadaku, sakit yang pada masa itu bahkan tidak dapat kubayangkan. Tuhan, bila aku dapat meminta, jangan sampai sakit ini Kau hadirkan untukku lagi.

***

Tahun-tahun berlalu, meninggalkan begitu banyak kenangan dan pembelajaran untukku. Rasa (yang dahulu) sakit itu memang terkadang masih kurasakan. Namun rasa itu sudah berbeda. Rasa sakit itu sudah berubah menjadi rasa syukur dan terima kasih.

Sekarang aku sadar, rasa yang pernah mati-matian kuanggap cinta ternyata bukan cinta. Sosok yang semula kuagung-agungkan karena kesempurnaannya ternyata hanya sempurna berdasarkan kriteria kesempurnaan yang kubuat sendiri. Rasa sakit yang pernah kurasakan semula sangat kubenci namun kini sangat kusyukuri.

Kini aku sadar, tidak ada sosok yang benar-benar sempurna. Ketidak sempurnaan ternyata membawa berkah tersendiri. Ketidak sempurnaan mengajakku terus berusaha memperkaya diri dan orang lain. Ketidak sempurnaan membuat hidupku tidak monoton. Ketidak sepurnaan pada akhirnya membuat hidupku terasa lebih sempurna.

Saat ini, pria yang jauh dari sempurnalah yang mendampingiku. Pria yang sudah, masih, dan kuharap dapat terus memperkaya hidupku. Pria yang membuatku dapat dan masih terus berusaha untuk mencintai dengan tulus.

Terima kasih Tuhan atas kesempatan yang Kau berikan padaku untuk mengecap rasa sakit itu. Terima kasih atas anugerah menikmati hasil pembelajaran yang Kau berikan padaku. Aku tidak sempurna, dan aku sadar memang tidak ada satupun orang yang sempurna. Biarlah hal itu menjadi milikMu saja. Satu yang kumohon, bukalah mata hatiku untuk terus menikmati ketidak sempurnaan yang Kau berikan pada kami.